Dokumentasi saat Haul Kyai Muzakki di Pakholwatan 2019
Kontroversi Kyai Muzakki
Menikah
dengan Jinniyah
Sebagaimana
disebutkan dalam „Risâlatul Wasâ’ail fi
Silsilatin Nasâ’il’[1], juga berdasar riwayat sesepuh, bahwa kyai
Muzakki juga menikah dengan bangsa jin, perempun bangsa jin itu bernama Maryam
binti Ghufron bahkan beliau juga mempunyai keturunan darinya[2]. Walaupun sebagian orang mengatakan hal itu
tidak mungkin terjadi.
Kami tidak dalam rangka membela kyai Muzakki, namun kami hanya ingin
menjelaskan bahwa, seandainya hal itu memang benar, menurut para ulama,
pernikahan dengan bangsa jin bukanlah hal yang mustahil.
At Tsu’âlibi mengatakan: “pernikahan antara manusia dan jin itu sering
terjadi”. Sebagaimana firman Allahl:
وَشَارِكۡهُمۡ فِی ٱلۡأَمۡوَ لِ
وَٱلۡأَوۡلَـٰدِ
Dan berserikatlah dengan mereka pada harta
dan anak-anak.
فِیهِنَّ
قَـٰصِرَتُ ٱلطَّرۡفِ لَمۡ یَطۡمِثۡهُنَّ إِنس قَبۡلَهُمۡ وَلَا جَاۤنّ
Di dalam
syurga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak
pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni syurga
yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin. [3]
Al Alla’ mengatakan: “bahwa
ayah Bilqis menikah dengan jinniyah (wanita jin) yang bernama Raihanah binti AsSakan”.
Imam Jalaluddin As Suyuthi berkata: Dari Abu
Hurairaha, Rasulullah` bersabda:
احد ابوي بلقيس
كان جنيا
Juga terdapat riwayat-riwayat
lain yang di keluarkan oleh Al Hakim, Ibnu Abi Hatim dan AtTirmidzi dalam “Nawâdirul Ushul”, Ibnu Abi Syaibah,
Ibnul Mundzir dan lainnya menegaskan bahwa, “pernikahan(munakahah) antara bangsa manusia dan jin itu memang ada”.
Di dalam kitab “Tahrîmul
Fawâhisy” at Thurthusyi meriwayatkan dengan sanad sampai ke Sayyidina
Abdullah bin Abbas radiyallahuanhuma,
bahwa Ibnu Abbas berkata:
المخنثون اولاد
الجن,قيل لابن عباس كيف ذلك؟قال:ان الله ورسولو نهيا ان يأتي الرجل امراتو وىي حائض,فاذا اتاىا سبقو الشيطان,فحملت ,فجائت
بالمخنث.
Sedangkan status hukum dari pernikahan itu sendiri ulama berbeda
pendapat. Di dalam kitab “al Ilhâm wal waswasah”,
Abu Utsman Sa‟id bin Abbas Ar Razi meriwayatkan bahwa, sekelompok orang dari
Yaman menanyakan hukumnya „bangsa jin
yang datang melamar seorang wanita’ kepada Imam Malik bin Anas? Imam Malik
mengatakan: “Menurut saya, agama tidak
melarangnya, hanya saja saya tidak
suka jika ada orang hamil kemudian ditanya siapa bapaknya…? lalu si wanita
menjawab: “bapaknya adalah jin”.
Demikian itu akan membuat banyak kerusakan dalam islam”[5].
Az Zuhri mengatakan:
نهى رسول الله عن نكاح الجن Rasulullah
melarang menikahi jin Sedangkan yang melarang
nikah dengan bangsa jin
berdasar kepada Ar Rum :
ومِن ءَایَـٰتِهِۦ أَن
خَلَقَ لَكُم مِّن أَنفُسِكُم أَزوَ جا لِّتَسكُنُوۤا إِلَیهَا
وَجَعَلَ بَینَكُم مَّوَدَّة وَرَحمَةً إِنَّ فِی ذَ لِكَ
لَـَایَـٰت لِّقَوم یَتَفَكَّرُونَ
dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Al hasil, masalah ini masih khilaf di
kalangan ulama. Artinya, kita yang bukan mujtahid dan bukan ulama, tidak boleh
sembrono menjatuhkan vonis kepada kyai Muzakki dengan kata-kata kafir dan
semisalnya. Karena masalah ini adalah masalah fiqih yang luas. Kata nahâ(melarang) dalam hadits difahami
sebagai larangan yang tidak kuat (ghairu
jâzim) atau makruh, karena
larangan tidak selalu berarti haram. Tentu yang dimaksud adalah makruh secara istilah, yaitu, „bila dilakukan
tidak apa-apa, dan jika ditinggalkan mendapat pahala‟. Bukan makruh secara
bahasa(lughawi), yang berarti “sesuatu yang di benci”.
Sosok seperti kyai Muzaki tidak bisa kita vonis hanya dengan mengutak-atik
dalil seperti ini, Karena al arifun
tidak membutuhkan alat untuk memahami kalam Allah kecuali dengan cara kasyaf dan dzauq, bukan dengan cara al
fahm dan al fikr. Sebab kasyaf
bagi al arifun sama halnya
dengan ijtihadnya ulama syariah
dengan dalil-dalil yang dikuasainya[6]..Artinya,
sebaiknya kita berhati hati mengomentari
orang seperti kyai Muzakki walau
sekilas nampak aneh
menurut syariat, karena kita tidak tahu ilmu yang ada di hati para
ârifin, auliya’ dan ulamaillahissalihin. Sebab ilmu yang ada di hati mereka
tidak semua diungkap dalam tulisan dan terucap dalam kata-k
Beristri
lebih dari empat
Hampir semua ulama yang mengharamkan poligami
Hampir semua ulama yang mengharamkan poligami
lebih dari
empat, berhujjah dengan hadits Ghailan dan Naufal dan An Nisa ayat 3 .
ان غيلان الثقفى
اسلم وتحتو عشرة نسوة,فقال:امسك اربعا وفارق باقيهن. وقال الامام الشافعى:ان نوفل
بن معاوية اسلم وتحتو خمس نسوة فقال عليه السلام:امسك اربعا وفارق واحدة
فَٱنكِحُوا۟
مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَاۤءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَـٰثَ وَرُبَـٰعَۖ
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Menurut Imam as Syaukani (tokoh syiah
Zaidiyah), hadits Ghailan dan Naufal dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul (tidak jelas). Sedangkan hadits
Qais bin Harits adalah kategori hadits ahad[7]. Hadits
yang kategorinya demikian, tidak mengalahkan hadits yang mutawatir dan tidak
boleh “mentakhsis” al Qur’an.
Orang yang menolak keabsahan hadits
ahad tidak diminta untuk bertaubat (tidak murtad), tapi jika menolak(meragukan) hadits yang mutawatir
yang disepakati kebenarannya, maka ia harus bertaubat. Hadits yang mutawatir
tentang masalah ini adalah:
عن انس قال:كان للنبي تسع نسوة
Sedangkan landasan yang dipakai oleh yang
membolehkan poligami lebih dari empat adalah Al Qur’an Surah al Ahzab:21, Ali Imran:31 al Mumtahanah:6.
Menurut
golongan ini, hadits Ghailan bersifat kondisional alias tidak mutlak.
Buku
ini tidak dalam rangka membahas masalah ini secara panjang lebar, hanya sebagai
uraian singkat bahwa, masalah ini masih mukhtalaf(diperelisihkan)
hukumnya di kalangan ulama.
Alhasil,
masalah poligami lebih dari empat adalah masalah furu’iyah(fiqhiyyah), bukan masalah i’tiqa (aqidah).
Maka, tidak seharusnya ada tudingan miring atau sesat bagi pelakunya,
sebagaimana perbedaan masalah furu‟iyah yang lain. Kaum muslimin ahlussunnah
sepanjang sejarahnya adalah golongan yang paling fleksibel dan moderat dalam
menerima perbedaan, selagi perbedaan itu dalam lingkup ijtihad (ithârul ijtihad) dan bukan masalah pokok
aqidah (Ushul al Aqidah).
Begitu
halnya dengan Kyai Muzakki, bisa jadi beliau mengikuti sebagian ulama sunni dan
syiah itu, atau beliau sendiri memahami masalah poligami ini sama dengan yang
mereka faham.
[1] ) KH. Zarkasyi Abdul Hamid.
[2] Empat anak
beliau dengan istri dari bangsa jin yakni. Syekh Muhammad Thoyyib, syekh
Burhan, syekh Syukron, dan syekh Nahron mereka semua tinggal di Asyroq atau di
belahan timur dunia tempat keluarnya matahari. Sumber alm kyai Sya’roni Siroj
Sumber Agung Malang
[4] Dikeluarkan oleh Abu Sayaikh, Ibnu Asakir dan Ibnu Marduwaih
dalam “al Azhamah”. (Laqtul Marjan, As Suyuthi).
[5] ) Laqthul Marjân fi Ahkâmil Jân. Imam Khatimatul Khuffazh Jalaluddin as
Suyuthi as Syafi‟i. Maktabatul Qur‟an, al Qahirah.
[6] Durarul Ghawwâsh, ala
fatâwa sayyidi Ali al Khawwâsh, lil quthub al arif billah, sayyidi Abdul Wahhab as
Sya‟rani. Maktabah al Azhariyah liturâts.
Sayyid Ali Al Khawwash adalah orang yang tidak bisa membaca
dan menulis. Guru dari Imam Abdul Wahhab As Sya’rani al Ansahari as Syafii(tokoh
ulama abad sepuluh hijriyah).
[7] ) Hadits ahad adalah hadits yang
tidak sampai ke derajat mutawatir. Hadits ahad ada yang sahih, hasan dan dhaif.
Namun kekuatan hukum hadits ahad bersifat zhanni(relatif)
walaupun kedudukannya lebih tinggi dari qiyas.
[8] . HR Muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar